PESAN TERAKHIR AYAH
Oleh : Ayyub Al Azheem
Pagi
itu tak secerah pagi-pagi sebelumnya. Langit yang kelam dan awan tebal menutupi
mentari yang biasanya menerangi bumi. Guntur yang menggelegar melengkapi
suasana pagi yang menyeramkan seakan
hendak terjadi bencana.
Mutia
yang tengah mengenakan seragam OSIS SMA sedang sarapan bersama ayahnya. Mereka
sudah 16 tahun hidup berdua karena ibunya Mutia telah dipanggil Sang Kholik
ketika melahirkan Mutia. Mereka hidup ditengah kesepian setiap harinya.
“Yah,
Mutia nanti pulangnya agak sore ya?” kata Mutia sambil mengunyah makanannya.
“Ada
acara apa kok pulang sore?” tanya ayahnya.
“Mau
belajar kelompok di rumahnya Erlina, Yah” jawab Mutia
“Ya
sudah, pulangnya jangan sampai maghrib ya! Belajarlah yang rajin, kamu
satu-satunya harapan ayah, jangan seperti ayahmu ini yang Cuma jadi seorang
loper Koran, wujudkan dan raih cita-citamu, Nak!” nasihat ayah Mutia.
“Iya,
Yah !” jawab Mutia.
“Ya
sudah sana berangkat, nanti terlambat! Jangan terburu-buru di jalan, di luar
hujannya masih lebat” kata ayah Mutia.
Kemudian
Mutia berangkat ke sekolah dengan sepeda bututnya sambil mengenakan jas hujan.
Kebetulan jarak rumah Mutiadengan sekolahnya tidak terlalu jauh. Mutia
berangkat dengan penuh semnangat meskipun hujan lebat serta guntur yang keras
menghalangi perjalanannya.
Baru
saja Mutia meletakkan sepedanya di area parkir sekolah, terdengar tanda bel
masuk. Ia bergegas melipat jas hujan yang deikenakannya tadi. Langsung saja
Mutia menuju ke kelasnya.
“Hai
teman-teman, selamat pagi !” sapa Mutia kepada teman-temannya sambil menenteng
sepatunya.
“Hai
Mutia, tumben kamu berangkat agak siang?” tanya Erlina, teman sebangku Mutia.
“Iya
nih, hujannya lebat sekali.” Jawab Mutia sambil memakai sepatunya.
“Ngomong-ngomong
sudah selesai semua tugas-tugasmu, Mut?” tanya Erlina.
“Sudah
dong, semalem aku lembur sampai jam 11” jawab Mutia.
“Widiih
rajin amat kamu, Mut!” puji Erlina kepada Mutia.
“Iya,
aku tidak ingin mengecewakan ayahku, apalagi tadi waktu sarapan aku diberi
nasihat oleh ayahku. Aku jadi semakin semangat untuk sekolah.” Jawab Mutia.
“Iya
deh aku percaya ! Aku salut sama kamu Mut, semangatmu untuk raih cita-cita
sangat besar.” Kata Erlina.
“Hehe,
doakan saja Er, aku ingin membanggakan ayahku.” Kata Mutia
“Eh
. . . udah ada Bu Maya tuh!” sahut Erlina sambil menyiapkan buku Fisika.
“Selamat
pagi anak-anak” sapa Bu Maya, guru Fisika di sekolah Mutia
“Selamat
pagi, Bu !” jawab semua siswa serentak.
“Silahkan
dipimpin doa terlebih dahulu sebelum kita memulai pelajaran hari ini.” Kata Bu
Maya.
Kemudian
ketua kelas memimpin doa dan pelajaran pun dimalai. Mutia terlihat sangat
antusias dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran. Hingga terdengar bel
istirahat, semua siswa di dalam kelas termasuk Mutia yang tadinya penuh dengan
suasana serius berubah menjadi suasana yang penuh canda gurau.
“Hei
Mutia, Erlina, ayo kita ke kantin yuk !” ajak Fiona, teman sekelas Mutia yang
merupakan anak orang kaya
“Aku
enggak deh, kamu aja sama Erlina. Aku ingin menabung.” Kata Mutia
“Menabung?”
tanya Erlina
“Iya
Er, uang saku setiap hari ku tabung untuk bayar SPP.” Jawab Mutia.
“Oooh
jadi selama ini kamu tidak pernah ke kantin karena ini?” tanya si Fiona
“Iya
Fi, kalian berdua saja yang ke kantin.” Kata Mutia
“Ya
sudah gimana kalau aku traktir? Ayolah, sekali-kali, Mut!” ajak Fiona
“Aduhh
gimana yaa, aku gak enak sama kamu, Fi.” Kata Mutia yang berusaha menolak
ajakan Fiona.
“Ah
sudahlah tak usah difikirkan Mut, kamu juga sering membantuku dalam pelajaran
kan?” bujuk Fiona.
“Ya
sudah deh kalau begitu.” Kata Mutia yang menerima tawaran dari Fiona.
Mereka bertiga menuju ke kantin sambil bercanda
gurau. Tiba-tiba Mutia jatuh terpeleset.
“Aduuh.
. . .” teriak Mutia.
“Mutia
hati-hati dong, kamu tidak apa-apa kan?” tanya Erlina
“Tidak
apa-apa kok.” Jawab Mutia sambil merapikan pakaiannya yang terlihat berantakan.
“Ya
sudah, ayo ke kantin !” ajak Fiona.
Sesampainya
di kantin, mereka memesan makanan. Sambil menunggu pesanannya datang, mereka
berbincang-bincang hingga akhirnya makanan mereka datang. Tak sengaja, Mutia
menyenggol makanannya saat hendak mengambil sendok. “Tiiaaarrrr!!!” suara
piring yang pecah itu menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin.
“Aduh
maaf aku tidak sengaja.” Kata Mutia dengan gugup.
“Ya
sudah Mut, pesan lagi saja.” Kata Fiona sambil tersenyum ke arah Mutia.
“Terima
kasih Fi, kamu baik sekali.” Kata Mutia dengan sedikit menahan rasa malu.
Dalam
hatinya Mutia berkata, “Pertanda buruk apa ini? Tadi terpeleset, sekarang
piring pecah. Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa dengan ayahku.”
“Mutia?
Kamu melamun ya?” tanya Erlina yang melihat mata Mutia tampak kosong
tatapannya.
“Oh
enggak kok, gak ada apa-apa.” Jawab Mutia dengan gugup.
“Ya
sudah, dimakan dong makanannya !” sela Fiona.
Hingga
akhirnya jam pulang sekolah tiba, Mutia dilandai dengan perasaan yang sangat
gugup dan tidak tenang seakan ada peristiwa buruk yang akan menghampirinya.
“Er,
maaf ya aku tidak jadi ke rumahmu. Aku agak kurang enak badan.” Kata Mutia.
“Oh
begitu, ya sudah istirahat saja di rumah Mut. Hati-hati di jalan ya!” kata
Erlina.
“Iya,
makasih Er.” Kata Mutia sambil menggendong tasnya.
Akhirnya
Mutia pulang. Di sepanjang jalan ia terus melamun sambil mengendarai sepeda
bututnya. Hingga akhirnya ia sampai di depan halaman rumahnya. Ia sangat kaget
sekali melihat banyak orang mengerubungi rumahnya. Ia membanting sepedanya dan
berlari ke arah rumahnya.
“Ada
apa ini? Apa yang sedang terjadi?” tanya Mutia kepada salah seorang tetangganya
yang berada di rumah Mutia.
“Sabar
ya Nak, tabahkan hatimu. Ayahmu dipanggil Yang Maha Kuasa.” Jawab tetangganya
sambil memegang pundak Mutia.
“Apa?
Yang benar saja? Apa yang terjadi pada ayahku?” kata Mutia yang meneteskan air
matanya. Ia sangat terpukul sekali mendengarkannya.
“Ayah
kamu terserang penyakit jantung, nyawanya tidak dapat tertolong lagi.” Jelas tetangganya.
Kemudian
Mutia berlari masuk ke dalam kamar ayahnya. Mutia tak sanggup melihat ayahnya
terbaring tak bernyawa.
“Ayaah,
kenapa kau meninggalkanku sendirian? Apa ayah tak ingin melihat aku sukses
nanti?” kata Mutia sambil menangis di depan ayahnya yang sudah dibungkus dengan
kain kafan. Sementara itu, tetangganya berusaha menenangkan Mutia yang sangat
terpukul atas musibah ini.
Mutia
tak pernah membayangkan, nasihat ayahnya yang ia dengar tadi pagi saat sarapan
bersama adalah pesan terakhir kepadanya. Hancur sekali hatinya ditinggal pergi
ayahnya. Namun, dalam hatinya ia tetap bertekad meraih cita-citanya meskipun
ayahnya sudah tiada.